Translate

Senin, 13 Februari 2012

BELAJAR ISLAM DI NEGERI BUDHA

Belajar memang tidak mengenal tempat dan waktu. Bahkan belajar agama sekalipun sudah semestinya tidak hanya selalau berada di kelas-kelas agama, majelis taklim, universitas-universitas islam (UIN) atau di masjid, walaupun memang tempat belajar agama yang paling ideal dan afdhol adalah di masjid.
Namun, dalam makna islam yang lebih luas, meliputi ruh ajaran islam tentang akhlaq, muamalah, etos kerja, kedisiplinan, loyalitas dan amanah yang kesemuanya itu memiliki kedudukan yang tinggi dalam islam dapat kita pelajari dimanapun termasuk di daerah atau Negara yang penganut islamnya minoritas seperti Thailand. Ketika nilai-nilai keislaman itu kita temukan disini tentu itu adalah harta umat islam yang hilang sebagaimana sabda Rosululloh:

 “Hikmah adalah harta milik muslim yang hilang, dimana saja dia menemukannya, maka ia berhak mengambilnya.” (HR. Tirmidzi, 2611).

Tentu sudah banyak cerita-cerita tentang bagaimana nilai-nilai islam dan hikmah dapat kita temukan di Negara-negara non islam, atau di Negara yang penduduk muslimnya sangat minim. Bahkan seorang ulama mengatakan bahwa islam ditemukan di inggris, di Amerika dan lain-lain.

Contohnya seperti di negeri Thailand, sebuah Negara yang terkenal dengan agama Budhanya. Mungkinkah nilai-nilai islam dapat  kita temukan disini ???  mari kita lihat.

Budaya kebersihan dan kerapian di negeri ini sangat nampak ketika kita pertama kali menginjakkan di bandara internasional Suvarnabhumi, siapapun yang pernah pergi ke Thailand melalui airport ini, pasti akan sepakat bahwa kebersihannya jauh diatas bandara-bandara di Indonesia seperti Sukarno-Hatta, Juanda Surabaya,  atau Sultan Mahmud Badaruddin Palembang yang dengan izin Alloh penulis pernah mengunjunginya. Demikian juga ketika kita lanjutkan perjalanan kita dengan bus atau kereta menuju Bangkok kota, kita akan amati begitu bersihnya sarana transportasi disini, jalan-jalan dan sarana umum yang kita jumpai, bahkan telepon umum koin yang saat ini sangat jarang kita dapatkan di Indonesia (karena sebagian besar rusak dan tidak terawat), masih banyak kita jumpai disini dengan kondisi yang masih bagus dan siap pakai. Hal ini menunjukkan bagaimana tanggungjawab penduduknya dalam merawat sarana umum. Coba kita bandingkan dengan kasus pencurian dan perusakan baut dan besi jembatan Suramadu di Indonesia.

Dalam hal kejujuran misalnya, Taxi  disini semuanya wajib menggunakan “taxi meter”, artinya kita hanya akan membayar sejauh jarak tempuh taxi yang kita sewa, tanpa nego tanpa tawar menawar yang seringkali menimbulkan kasus-kasus penipuan. Walaupun dalam beberapa kasus ada saja sopir taxi yang “nakal”, namun secara umum budaya fair dalam menjual jasa sangat membudaya di negeri ini, setiap taxi wajib menyertakan identitas sopir di dashboard mobil, sekaligus nomor ID, nama lengkap dan nomor pengaduan untuk pelanggan yang merasa dirugikan oleh pelayanan sopir tersebut. Contoh lain juga dapat kita jumpai di pasar-pasar atau di toko-toko, kami belum pernah menjadi “korban pembulatan angka” ataupun “pembelian paksa” untuk uang kembalian. Uang kembalian sekecil apapun akan dikembalikan kepada pembeli secara utuh.

Budaya tersenyum dan membantu sesama juga dapat dengan mudah ditemukan disini, siapapun yang pernah terlibat langsung dengan birokrasi di Thailand, baik itu kantor imigrasi, ataupaun yang kesehariannya bekerja bersama meraka di laboratorium atau di kampus. Kita akan menemukan bahwa budaya saling membantu seakan menjadi hal yang biasa. Kemudahan prosedur dan pendeknya rantai birokrasi.

Dalam hal kedisiplinan, paling mudah kita bisa perhatikan di gang-gang atau “Soi” di kota-bangkok, kita dapati para tukang ojek yang jumlahnya puluhan secara tertib mengantri satu demi satu untuk mendapatkan giliran penumpang. Tidak hanya itu, semua tukang ojek mengenakan seragam rompi “orange” dilengkapi nomor anggota di bagian punggungnya. Tidak pernah kita dapati mereka saling berebut mendapatkan penumpang. Masing-masing akan mendapat sesuai dengan gilirannya. Ketika di pusat kota, dengan kondisi macetpun, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah kita dengar suara klakson saling bersahutan, para pengemudi saling bersabar menunggu terurainya kemacetan walaupun kemacetan sangat parah dan kondisi kota Bangkok yang panas.

Demikianlah sedikit pelajaran yang dapat kita ambil, sudah semestinya budaya-budaya seperti itu dimiliki oleh umat islam di Indonesia karena sesungguhnya itu semua adalah harta umat islam yang pernah hilang, sehingga ketika itu kita jumpai sudah seharusnya kita ambil kembali. Hal ini juga bukan berarti melupakan sisi lain yang buruk dari sisi akidah yang mereka anut, bukan pula menjadi takjub dan lantas menilai bahwa agama mereka lebih baik dari agama Islam, justru ini menjadi tantangan kita untuk menyelamatkan mereka melalui dakwah tauhid. Semoga tulisan singkat ini menjadi pemacu kaum muslimin untuk meningkatkan amal sholehnya sebagai bukti bahwa al-islamu ya’lu walaa yu’la a’laih, islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.… wallohu a’lam.

Bangmod, 17 Muharram 1432 H
Ibnu Ahmad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar